Selasa, 11 November 2008

Renunganku… Tentang seorang pemimpin

Bissmillah…

Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya (Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 3408)

Ku terduduk di serambi masjid raya kota Bogor, selepas Isya sepulang dari pekerjaanku hari ini. Lelah terasa, lemah ku tak terkira, tetapi Insya ALLAH itu tidak akan pernah aku keluhkan, walau pun kadang itu sering terucap dari mulutku yang tak terjaga ini. Seharusnya bukan keluhan yang aku ucapkan, tetapi syukur yang seharusnya aku kumandangkan, karena, disadari atau tidak, hari ini aku masih memiliki pekerjaan. Entah esok, entah lusa, pekerjaan itu akan diambil oleh yang empunya, ALLAH azza wa jalla

Angin tertiup pelan, dingin menusuk jantung dan tulang sumsumku. Bulan setengah jalan, malu untuk menunjukkan jati dirinya, tertutup awan hitam pekat, tanda hujan lembut akan tumpah ruah. Kupandangi poster, spanduk dan atribut-atribut partai politik yang akan bertarung di pemilu yang akan datang, lengkap dengan photo calon legislatif dan calon presidennya. Jargon-jargon dan janji-janji pun terpampang jelas, padahal janji adalah hutang yang harus dibayarkan.

Tak habis pikir akal ini menerawang dan membahana ke angkasa luas. ‘Apa ya yang mereka cari?’, aku bergumam. Aku Cuma ber-khusnudzon, berprasangka baik, saja, bahwa mereka calon-calon anggota legislatif dan pemimpin bangsa ini, mencalonkan atau dicalonkan untuk menjadi calon anggota legislatif dan calon presiden beranjak dari hati yang amat murni, untuk memperjuangkan rakyat dan bangsa ini, bukan memperjuangkan partainya, bukan keluarganya, bukan ego dan cita-citanya semata. Karena, percaya atau tidak, sadar atau tidak, seorang pemimpin merupakan ‘Pemimpin Kehidupan’ umat atau orang yang dipimpinnya, baik kemaslahatan dunia maupun akhirat.

Pemimpin adalah panutan orang atau umat yang dipimpinnya. Pemimpin adalah contoh baik umatnya dan bertanggung jawab atas segala hal mengenai apa yang dipimpinnya. Pemimpin adalah seseorang yang harus dicintai dan mencintai rakyatnya, bukan kedudukannya. Pemimpin adalah orang yang mampu dan mau tidur beralaskan tikar, ketika ada rakyatnya yang hanya tidur beralaskan koran bolong, agar bisa merasakan dinginnya malam dan tusukan angin jahat kehidupan. Pemimpin adalah orang yang mau berdesakan duduk di angkot dan metromini, dengan kepulan asap rokok orang-orang yang tak berotak, agar mampu dan bisa merasakan bahwa rokok adalah sebuah permasalahan bangsa yang dipimpinnya. Pemimpin adalah orang yang mau bermacet-macetan, berbarengan dengan kaum marjinal pergi untuk dan pulang dari bekerja, agar bisa merasakan dan memiliki sense of problem solving, bahwa macet adalah permasalahan kota-kota besar di negara yang dipimpinnya. Pemimpin adalah orang yang mau dan siap berjalan di trotoar tanpa pengawalan ketat dan scenario berlebihan, sehingga dia mampu melihat dengan kepala matanya sendiri, bukan kepala mata orang-orang yang berucap ABS (Asal Bapak Senang), bahwa sampah di negara yang cenderung kotor ini adalah permasalahan bangsa.

Pemimpin adalah Imam bagi sholat berjamaahnya. Pemimpin adalah seorang petani bagi rakyat taninya. Pemimpin adalah prajurit pertahanan, bagi keutuhan negaranya. Pemimpin adalah buruh bari rakyat pekerjanya. Pemimpin adalah seorang pakar ekonomi, sehingga kebijakan ekonomi negaranya tidak salah kaprah. Pemimpin adalah negotiator ulung, sehingga tidak dibohongi dalam perjanjian antar negara. Pemimpin adalah orang yang FAST (Fatonah = cerdas, Amanah = dapat dipercaya, Sidiq = benar dan Tabligh = menyampaikan). Dan masih ada ribuan bahkan ratusan ribu atau jutaan fenomena yang harus dirasakan dan dikecap oleh pemimpin bangsa ini. sehingga, kehidupanlah yang dia pimpin, bukan birokrasi, bukan prosedur, bukan pemerintah atau jabatan saja. Sehingga pula, seluruh umat yang dipimpin merasakan ketenangan dalam melakukan apa pun, dan berbondong-bondong menuju kebahagaian dunia dan akhirat.

Tidak ada idola lain yang harus ditiru dan dibentuk, tidak musti melihat idola lain untuk diikuti titah, perilaku dan ide-idenya, cukuplah Rasul dan para sahabatlah sebagai idola para pemimin bangsa ini, karena lewat ide mereka, program kerja mereka bahkan lewat jenis alur birokrasi yang mereka kerjakanlah, Islam mengalami kejayaan yang hakiki. Dimana, tidak bisa dipungkiri lagi, ketika Islam jaya, di situlah semua orang dan elemen kehidupan akan merasakan ketentraman, karena Islam adalah rahmatan lil alamin.

Ku beranjak dari dudukku, karena angin kota bogor cukup tajam menusuk tulang-tulang sekujur tubuhku ini, jaket tebalku pun tidak sanggup untuk menghalaunya. Aku hanya berharap dan berharap, serta berusaha sesuai dengan batasan yang aku miliki, untuk ALLAH Tuhanku, kejayaan Islamku, perbaikan kehidupan saudaraku, dan kebangkitan bangsa dan negaraku, Indonesia…

Alhamdulillah…

Jumat, 07 November 2008

Renunganku… Tentang Seorang Anak Kecil

Bissmillah…
Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya; Kitabullah dan Sunnah nabiNya” (HR. Imam Malik).

Sepulang aku dari kantor, seperti biasa kunaiki bis ber-AC jurusan Lebak Bulus – Bogor. Seperti biasa pula, aku duduk di bangku paling belakang bis tersebut, tempat duduk yang agak tinggi dari tempat duduk yang lainnya, yang ada di depannya, sehingga kalau aku duduk, aku dapat melihat view di dalam bis dengan jelas, tanpa terhalang apa pun. Tak lama kemudian, hujan deras menghujam Jakarta dan sekitarnya secara mendadak. Guntur dan kilat berpadu padan dengan keadaan jalan yang tidak menentu. Orang-orang hilir mudik, berlari ke sana ke mari, untuk mencari peneduh dari air bah hujan yang mengguyur Jakarta dengan angkuhnya.

Dari balik jendela bis, yang berembun karena AC, bercampur dengan bulir-bulir air hujan dingin yang berjalan menetes pada kaca jendela bis, aku melihat sesosok anak kecil wanita berlari tanpa arah tujuan, berusaha untuk mencari tempat berteduh, dari guyuran air hujan yang sedang murka tersebut. Anak kecil yang di tangan kanannya memegang gitar kecil seperti ukulele, dan di tangan kirinya memegang bekas gelas air mineral, yang uang koinan hasil jerih payah dia mengumandangkan nyanyian ngamenannya kepada para penumpang bis kota di Jakarta ini berhamburan dan berserakan. Sesekali dia mengambilnya kembali uang koin ratusan itu, atau bahkan dia hanya memandanginya, karena terdorong orang-orang lain yang ukuran badannya lebih besar, yang pula mencari tempat untuk berteduh.

Badan kotornya sedikit tersapu oleh air hujan asam, asam karena air hujan tersebut bercampur dengan kadar CO2 yang cukup tinggi. Baju lusuhnya tak nampak lagi, basah tak terelakan. Rambut panjang sebahunya, kelimis jatuh karena tersiram air. Aku memandanginya cukup lama, untuk sebuah kisah rintihan hati yang teramat sakit untuk dirasakan, karena bis yang aku tumpangi pun tidak kunjung beranjak, karena kemacetan jalan raya kota Jakarta yang sudah mulai tergenangi air hujan tersebut.

Anak kecil, berumur kisaran 3 tahun, sebuah umur yang hanya pantas melakukan suatu permainan mengasyikan di dalam rumah bersama kakak-kakaknya, serta dilindungi dan didekap hangat oleh ayah dan ibunya, tersebut berhasil berteduh di bawah jembatan layang. Badannya mengigil kedinginan. Lutut, kaki dan tangannya, yang ditelungkupkan di atas dadanya, nampak bergetar tak berirama. Gigi dan bibirnya pun bergetar kencang tak bernada. Pandangannya kosong, entah apa yang sedang dia pikirkan, sembari memandangi tempat jatuhnya ribuan tetes air hujan yang ALLAH tumpah ruahkan dari langit.

Tampang lugunya pun tak kalah mengharukan. Ingin ku dekap dia, hanya untuk memanaskan suhu tubuhnya, atau sedikit memberikan perhatian, ketika setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri. Kemana ya Ibunya? Bapaknya? Kakaknya? Atau saudaranya? Yang seharusnya ada di samping dia, melindungi dia dan menghangatkan tubuhnya. Belum lagi terpikirkan tentang kehidupannya setelah ini. Masa depannya. Sekolahnya. Konstribusinya untuk negara dan …

Ya ALLAH… Aku berharap ini bukan murkaMU ya Rabb… Aku berharap ini bukan azabMU… Aku hanya mengharapkan, ini hanyalah teguranMU akan sebuah sistem negara Indonesia yang tidak kunjung ada perbaikan. Teguran untuk kita semua, agar kembali ke tatanan kehidupan yang Islami, yang tidak salah haluan dan tujuan. Sebuah tatanan negara yang bervisi dan bermisi sama dengan para pejuang kita dahulu, sebuah negara yang berkat rahmat ALLAH bisa berdiri, dan tidak menduakan hukum ALLAH, yang me-replace hukum nan hakiki, Al-Qur’an dan As-sunnah.

Mobil bis yang aku ada di dalamnya pun mulai melaju, meninggalkan pemandangan klasik kota Jakarta itu. mengakhiri renunganku kali ini…
Alhamdulillah…