Jumat, 07 November 2008

Renunganku… Tentang Seorang Anak Kecil

Bissmillah…
Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya; Kitabullah dan Sunnah nabiNya” (HR. Imam Malik).

Sepulang aku dari kantor, seperti biasa kunaiki bis ber-AC jurusan Lebak Bulus – Bogor. Seperti biasa pula, aku duduk di bangku paling belakang bis tersebut, tempat duduk yang agak tinggi dari tempat duduk yang lainnya, yang ada di depannya, sehingga kalau aku duduk, aku dapat melihat view di dalam bis dengan jelas, tanpa terhalang apa pun. Tak lama kemudian, hujan deras menghujam Jakarta dan sekitarnya secara mendadak. Guntur dan kilat berpadu padan dengan keadaan jalan yang tidak menentu. Orang-orang hilir mudik, berlari ke sana ke mari, untuk mencari peneduh dari air bah hujan yang mengguyur Jakarta dengan angkuhnya.

Dari balik jendela bis, yang berembun karena AC, bercampur dengan bulir-bulir air hujan dingin yang berjalan menetes pada kaca jendela bis, aku melihat sesosok anak kecil wanita berlari tanpa arah tujuan, berusaha untuk mencari tempat berteduh, dari guyuran air hujan yang sedang murka tersebut. Anak kecil yang di tangan kanannya memegang gitar kecil seperti ukulele, dan di tangan kirinya memegang bekas gelas air mineral, yang uang koinan hasil jerih payah dia mengumandangkan nyanyian ngamenannya kepada para penumpang bis kota di Jakarta ini berhamburan dan berserakan. Sesekali dia mengambilnya kembali uang koin ratusan itu, atau bahkan dia hanya memandanginya, karena terdorong orang-orang lain yang ukuran badannya lebih besar, yang pula mencari tempat untuk berteduh.

Badan kotornya sedikit tersapu oleh air hujan asam, asam karena air hujan tersebut bercampur dengan kadar CO2 yang cukup tinggi. Baju lusuhnya tak nampak lagi, basah tak terelakan. Rambut panjang sebahunya, kelimis jatuh karena tersiram air. Aku memandanginya cukup lama, untuk sebuah kisah rintihan hati yang teramat sakit untuk dirasakan, karena bis yang aku tumpangi pun tidak kunjung beranjak, karena kemacetan jalan raya kota Jakarta yang sudah mulai tergenangi air hujan tersebut.

Anak kecil, berumur kisaran 3 tahun, sebuah umur yang hanya pantas melakukan suatu permainan mengasyikan di dalam rumah bersama kakak-kakaknya, serta dilindungi dan didekap hangat oleh ayah dan ibunya, tersebut berhasil berteduh di bawah jembatan layang. Badannya mengigil kedinginan. Lutut, kaki dan tangannya, yang ditelungkupkan di atas dadanya, nampak bergetar tak berirama. Gigi dan bibirnya pun bergetar kencang tak bernada. Pandangannya kosong, entah apa yang sedang dia pikirkan, sembari memandangi tempat jatuhnya ribuan tetes air hujan yang ALLAH tumpah ruahkan dari langit.

Tampang lugunya pun tak kalah mengharukan. Ingin ku dekap dia, hanya untuk memanaskan suhu tubuhnya, atau sedikit memberikan perhatian, ketika setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri. Kemana ya Ibunya? Bapaknya? Kakaknya? Atau saudaranya? Yang seharusnya ada di samping dia, melindungi dia dan menghangatkan tubuhnya. Belum lagi terpikirkan tentang kehidupannya setelah ini. Masa depannya. Sekolahnya. Konstribusinya untuk negara dan …

Ya ALLAH… Aku berharap ini bukan murkaMU ya Rabb… Aku berharap ini bukan azabMU… Aku hanya mengharapkan, ini hanyalah teguranMU akan sebuah sistem negara Indonesia yang tidak kunjung ada perbaikan. Teguran untuk kita semua, agar kembali ke tatanan kehidupan yang Islami, yang tidak salah haluan dan tujuan. Sebuah tatanan negara yang bervisi dan bermisi sama dengan para pejuang kita dahulu, sebuah negara yang berkat rahmat ALLAH bisa berdiri, dan tidak menduakan hukum ALLAH, yang me-replace hukum nan hakiki, Al-Qur’an dan As-sunnah.

Mobil bis yang aku ada di dalamnya pun mulai melaju, meninggalkan pemandangan klasik kota Jakarta itu. mengakhiri renunganku kali ini…
Alhamdulillah…

2 komentar:

Anonim mengatakan...

So nice pak... Teruslah berkarya...

Anonim mengatakan...

Saya baru teringat, kan fakir miskin dan anak terlantar seharusnya dipelihara oleh negara...